masukkan script iklan disini
Sejarah Al-Azhar
Sejarah
Berdirinya Al-Azhar
Al-Azhar adalah sebuah masjid sekaligus universitas di kota Kairo yang
dibangun oleh Jawhar Al-Katib As-Shoqly (Ilyas As-Shoqly, panglima tentara Abu
Tamim, setahun setelah Dinasti Fatimiyah menaklukkan Mesir. Hal itu langsung
dilakukan setelah mereka mendirikan Markas Kerajaan mereka yang baru (Kota
Kairo didirikan Jumadil Ula tahun 259 H / Maret 873 M, Al-Azhar didirikan
Ramadhan tahun 361 H / Juni 875 M), kemudian langsung dipergunakan untuk sholat
pada saat yang sama. Masjid dibangun di sebelah tenggara kota Kairo, dekat
dengan Istana Besar yang waktu itu ada diantara daerah Ad-Daylam sebelah timur
dan Daerah At-Turk sebelah selatan.
Al-Azhar adalah masjid Jami’ pertama yang dibangun di Kairo. Pada saat
dibangun ia berbentuk satu bangunan yang terbuka di tengahnya (dalam bahasa
Arab disebut Shohn, meniru arsitektur Masjid Al-Haram), di dalamnya ada 3 ruwaq
(ruangan khusus yang dipergunakan untuk kegiatan belajar atapun penampungan
pelajar), yang paling besar adalah Ruwaq Al-Qiblah. Waktu itu luasnya hanya
setengah luas yang ada sekarang.
Jawhar menorehkan tulisan relief di sekitar Kubah yang bertahunkan 360,
yang nash tulisan lengkapnya bisa diketahui dalam tulisan Al-Maqrizy
(Al-Khattath, jld II, hal 273, baris 24-26). Sejak saat itu, pahatan tersebut
menghilang. Para penguasa Fatimiyyah memperluas bangunan masjid dan menetapkan
waqaf khusus untuknya. Sebagai contoh adalah Al-Aziz Nazzar (365-386H / 976-996
M) yangtelah menjadikan Al-Azhar sebagai Akademi Keilmuan dan mendirikan
penampungan bagi orang-orang faqir yang bisa menampun 35 orang.
Diriwayatkan bahwa pada bangunan pertama masjid ini terdapat relief
burung-burung yang terpahat pada puncak tiga tiang yang berfungsi untuk menjaga
agar jangan sampai burung bersarang di situ. Ketika Al-Hakim Bi Amrillah
berkuasa, (386-411 H / 996-1020 M), dia memperluas bangunan masjid dan
mengkhusukan wakaf untuk bangunan tersebut dan juga bangunan lainnya. Hal itu
juga disebutkan oleh Al-Maqrizy ketika menceritakan kejadian tahun 400 H. Pada
tahun 519 H, Al-Amir membuat miharab di dalamnya yang dihiasi dengan
ukiran-ukiran kayu. Ukiran-ukiran tersebut masih tersimpan di Daarul Atsar
Al-Arabiyyah (Pusat Peninggalan Arab) di Kairo.
Nama Al-Azhar berhubungan erat dengan Dinasti Fatimiyyah yang
mendirikannya. Dikatakan bahwa Al-Azhar sebagai simbol bagi Fatimah Az-Zahraa
radliyallahu anha putri Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wa sallam.
Sebagaimana salah satu koridor Al-Azhar dinamai dengan Fatimah radliyallahu
anha. Al-Mustanshir dan Al-Hafizh juga ikut menambah sedikit luas masjid
Al-Azhar. Dinasti Fatimiyyah adalah Dinasti Syiah Bathiniyyah yang berusaha
untuk menyebarkan ajarannya tersebut dengan mendirikan Al-Azhar.
Kemudian Sholahuddin Al-Ayyubi berhasil menaklukkan Dinasti Fatimiyyah.
Pada masanya Al-Azhar ditutup sama sekali, dan dilarang dipakai untuk kegiatan
apapun. Hal itu dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh syiah yang masih
kental. Sebagai gantinya, Sholahuddin mendirikan madrasah-madrasah di sekitar
Al-Azhar yang mengajarkan Islam dengan empat madzhab Sunny, yang bangunannya
masih ada sampai sekarang. Al-Azhar ditutup untuk umum selama hampir satu abad
lamanya, selama Dinasti Ayyuby, sebelum kemudian para bangsawan dan pejabat
kerajaan mulai menaruh belas kasihan terhadap Al-Azhar.
Ketika Raja Az-Zhahir Bibris berkuasa, pada Dinasti Mamluky, Al-Azhar
diadakan perbaikan dan perluasan Al-Azhar. Ia memberikan dorongan untuk dibuka
lagi kegiatan belajar mengajar di sana. Dan pada tahun 665 H / 1266-1267 M,
khutbah di Masjid Al-Azhar diperbolehkan kembali. Langkahnya terebut
mendapatkan sambutan dari semua fihak. Para Penguasa setelahnya mengikuti
langkahnya dalam menghidupkan dan memakmurkan Al-Azhar. Sehingga cahaya
Al-Azhar yang telah padam itu lambat laun mulai bersinar kembali.
Ketika Tentara Mongol memporak porandakan Bagdad, umat Islam kehilangan
Pusat Keilmuan di Timur waktu itu. Ditambah Andalus juga jatuh ke tangan kaum
Franj yang Kristen yang menghapuskan peradaban Islam di sana. Namun pasukan
Dinasti Mamluk yang dipimpin Sultan Qathz berhasil menaklukkan pasukan Mongol
yang bergerak ke Palestina menuju Mesir, dalam pertempuran yang terkenal di
‘Ain Jalut 658 H / 1260 H.
Kejadian itu menjadikan para ulama dan penuntut ilmu datang
berbondong-bondong ke Mesir yang merupakan daerah Islam yang teraman pada
masanya. Hal itu menjadikan Al-Azhar menjadi kiblat keilmuan umat Islam,
dikarenakan berkumpulnya para ulama dari berbagai belahan dunia di sana.
Apalagi para penguasa Dinasti Mamluky benar-benar memperhatikan dan menjaga
eksistensi Al-Azhar dengan segala kemampuan mereka. Harta wakaf senantiasa mengalir
untuk menjamin kesejahteraan para pengajar dan para pelajar.
Pada tahun 665 H / 1266 M, Pangeran Izzuddin Aidmar melakukan renovasi
bangunan-bangunan yang sudah retak. Ia juga mengambil kembali halaman Al-Azhar
yang sudah diserobot penduduk setempat. Hal itu dirayakan dengan mengadakan
Sholat Jumat di Al-Azhar pada tanggal 18 Rabiul Awwal 665 H / 19 November 1266
M.
Pada tahun 702 H / 1302 M – 1303 M, sebuah gempa telah merusak mesjid.
Maka Pangeran Sahd pun mengadakan renovasi masjid. Pembangunan masjid dimulai
lagi pada tahun 725 H / 1325 M oleh Pegawai Hisbah Kairo, Muhammad bin Hassan
Al-As’ardy (berasal dari Sa’rad, Armenia). Pada masa Sultan An-Nashir Muhammad
bin Qolawun Al-Mamluky, Pangeran Alaauddin Thibris—Panglima Tentara—mendirikan
Madrasah Thibrisiyyah yang kemudian disambungkan dengan Masjid Al-Azhar.
Kemudian Pangeran Alaauddin Aqbagha mendirikan Madrasah Aqbaghiyyah di pintu
yang berhias sebelah kiri (Pintu Utama Masjid).
Pada tahun 761 H / 1360 M, Sultan At-Thowasyi Basyir Al-Jamidar An-Nashiry
merenovasi masjid dan mengadakan perluasan lagi. Kemudian menyediakan
mushaf-mushaf di dalamnya, menetapkan seorang Qori, dan menyediakan bagi
orang-orang faqir makanan yang dimasak setiap hari. Ia juga menyediakan
pelajaran fiqih Madzhab Hanafy.
Pada tahun 800 H / 1360 M menara masjid runtuh, dan langsung dibangun
kembali pada masa Sultan Barquq yang membiayainya dengan hartanya sendiri.
Setelah itu menara masjid sempat runtuh lagi dua kali (817 & 827 H / 1414
& 1423 M), dan setiap itu terjadi langsung dibangun kembali. Pada masa
Sultan Barquq juga dibangun talang air, tempat minum dan lampu penerangan.
Sultan Qaitbay Al-Mamluky menghancurkan pintu sebelah barat laut Masjid
pada tahun 873 H / 1468 M. Kemudian mendirikan menara untuk adzan di sebelah
kanan Masjid, yang termasuk menara paling indah di Kairo. Sultan Qaitbay
merupakan bangsawan yang paling banyak perhatiannya terhadap Al-Azhar. Ia juga
berjasa dalam mendirikan penampungan bagi orang-orang faqir dan para ulama.
Bahkan Ibnu Iyas mengatakan bahwa sultan ini mempunyai kebiasaan aneh, yaitu
selalu datang ke Al-Azhar dengan menyamar dalam pakaian orang Maroko untuk
mendengarkan apa yang dikatakan orang tentangnya.
Lalu Sultan Qanshuh Al-Ghury Al-Mamluky membangun menara yang mempunyai
dua kepala yang merupakan menara masjid Al-Azhar yang paling tinggi pada tahun
1190 H / 1776 M. Menara ini merupakan menara yang unik yang menjadi ciri khas
Dinasti Mamluky. Masa ini merupakan masa-masa terakhir Dinasti Mamluky.
Pada masa Daulah Utsmaniyah, Al-Fatih Salim Syah sering mengunjung
Al-Azhar dan sholat di dalamnya. Ia memerintahkan untuk dibacakan Al-Quran di
dalamnya, shodaqoh untuk fuqoro yang menuntut ilmu di sekitar masjid. Di
dirikan juga sebuah ruangan khusus untuk sholat orang-orang tuna netra yang
disebut Zawiyyah Al-’Umyaan yang dibangun oleh Utsman Katakhda Al-Qozdughaly
(Qasid Oughly) pada tahun 1148 H / 1735-1736 M.
Abdurrahman Katakhda yang masih kerabat Utsman Al-Qazdughaly, termasuk
orang yang paling dermawan terhadap Al-Azhar. Ia telah membangun koridor dengan
sebaik-baiknya, mendirikan qiblat sholat, mimbar untuk khutbah, sekolah untuk
mengajar anak-anak yatim, membuat talang air dan membuat kuburan tempat dia di
kubur.
Adapun pada masa Muhammad Ali Pacha, pada awalnya mereka tidak menaruh
perhatian pada Al-Azhar. Pada akhir abad ke XI Hijriah / XVII Masehi,
ditetapkan adanya kedudukan Syaikh Al-Azhar. Pada masa Sultan Salim I
Al-Utsmany terjadi kevakuman dalam perkembangan keilmuan Al-Azhar disebabkan
pengiriman sejumlah Ulama Al-Azhar ke Al-Astanah—Ibu Kota Daulah
Utsmaniyah—padahal mereka adalah orang-orang pilihan dari Madzhab Sunny yang
empat. Akan tetapi para Khadevy pada masa-masa terakhir, mengerahkan usaha
untuk menjaga kebesaran dan kemegahan Al-Azhar.
Bagian-bagian
Masjid Al-Azhar Setelah Masa Itu
Berdasarkan arsip resmi tahun 1268 H / 1815 M, bagian-bagian dan
ruwaq-ruwaq Al-Azhar terbagi kepada nama-nama berikut:
1. At-Turk
(untuk orang Turki),
2.
As-Syawaam (untuk orang Syam),
3. Al-Kurd
(untuk orang Kurdi),
4.
Al-Maghoribah (untuk orang Afrika Utara),
5.
Al-Bukharaa (untuk orang Asia Tengah),
6.
As-Sho’aayidah (untuk penduduk Sho’id, Mesir),
7.
Ar-Riyaafah (untuk penduduk Delta, Mesir), atau Al-Manaayifah (untuk penduduk
Manoufiyah, Mesir), atau Syaikh Syanwaty,
8.
Al-Bahaawiroh (untuk penduduk Buhayroh),
9. As-Syaikh
Al-Baajuury,
10.
Al-Madrasah Al-Ibtighowiyah,
11.
Al-Falaatsah (untuk orang Afrika Tengah),
12.
As-Syaikh Tsu’aylib,
13.
Ad-Danaasyiroh (untuk orang Danusyiroh dan sekitarnya),
14. Ibnu Mu’ammar,
15.
Al-Madrasah At-Thibirosiyyah,
16.
As-Syarqowy (untuk penduduk Syarqiyyah, Mesir),
17.
As-Syabrokhity,
18. Al-Hunud
(untuk orang India),
19.
Al-Baghdadiyyah (untuk orang Baghdad dan sekitarnya),
20.
Ad-Damanhury, (untuk penduduk Damanhur, Mesir)
21.
Al-Basyabisyah (untuk orang Basyisy dan sekitarnya),
22.
Ad-Dakaarinah atau As-Shulayhiyyah,
23. Darfour,
24. Al-Yamaniyyah,
25.
Al-Baraabiroh (untuk orang Barbar),
26. Al-Jawa
(untuk penduduk Jawa dan sekitarnya),
27.
Al-Imaroh Al-Jadidah atau Muhammad Al-Maghrobil,
28.
As-Sulaymaniyyah,
29. Isa
Affandi,
30.
Al-Jabartiyyah.
Sebagian dari ruwaq-ruwaq tersebut masih dipergunakan sampai pada awal
tahun 1998, untuk kemudian dikosongkan karena akan direnovasi. Adapun para
pelajar Al-Azhar yang tinggal di ruwaq tersebut pada waktu itu—yang sebagian
mereka adalah orang-orang Indonesia—dipindahkan ke sebuah building di kawasan
km 4,5 di Nasr City, Cairo, dengan mendapatkan pelayanan yang hampir sama dengan
mereka yang tinggal di Asrama Al-Azhar. Bedanya mereka tidak mendapatkan
beasiswa resmi dari Al-Azhar.
Semenjak renovasi sampai sekarang, ruwaq-ruwaq tersebut tidak pernah
dipergunakan lagi sebagaimana fungsi awalnya. Mengingat bahwa Masjid Al-Azhar sekarang
berada di bawah Kementerian Waqaf Mesir—sebagaimana masjid-masjid yang ada di
Mesir—dan bukan di bawah Grand Syaikh Al-Azhar.
Sistem
Pengajaran Dahulu
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1911, Al-Azhar beralih ke fase baru dalam
sistem pengajarannya dengan ditambahkanya materi-materi pelajaran. Juga dengan
adanya wewenang khusus bagi Syaikh Jami’ Al-Azhar dengan dibuatnya sebuah
majelis yang berada di bawah pimpinannya yang dinamakan Majelis Tertinggi
Al-Azhar (Majlis Al-Azhar Al-A’laa). Dibuat juga sistem bagi Lembaga
Tokoh-tokoh Ulama (Haiah Kibar Al-Ulama), kemudia setiap madzhab mempunyai
Syaikh yang menjadi pimpinannya dan setiap lembaga pendidikan (ma’had)
mempunyai manajemen sendiri.
Al-Azhar tunduk kepada UU tersebut dengan berbagai perubahan yang dibuat
sesudahnya. Sampai kemudian keluar UU No. 33 Tahun 1923 untuk mendirikan bagian
spesialisasi. Pada 24 Jumad Al-Akhiroh 1349 H / 1930 M, dikeluarkan SK dengan
UU No. 49 Tahun 1930 yang mengatur ulang sistem Masjid Al-Azhar serta
lembaga-lembaga ilmu-ilmu agama Islam. UU itu mulai berlaku pada tahun 1931.
UU ini telah
membuat Pengajaran di Al-Azhar menjadi empat tahapan
1. Ibtidai.
Lamanya empat tahun. Di situ diajarkan materi-materi ; Al-Fiqh, Al-Akhlaq
Ad-Diniyyah (Moral Agama), At-Tajwid, Hafalan Al-Quran Al-Karim, At-Tawhid,
As-Siroh An-Nabawiyah (Sejarah Nabi Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wa
sallam), Al-Muthola’ah wal Mahfuzhot , Al-Insya (Mengarang), An-Nahwu (Kaidah
Bahasa Arab), As-Shorfu, Al-Imlaa (Dikte), Al-Khoth (Kaligrafi), At-Tarikh (Sejarah),
Geografi, Al-Hisab (Ilmu Hitung), Al-Handasah Al-Ilmiyah (Aritmetika Sains),
Mabadi Al-Ulum (Pedoman Sains), Tadbiir As-Shihhah (Kesehatan), Ar-Rosmu
(Menggambar).
2. Tsanawy.
Lamanya lima tahun. Di situ diajarkan materi-materi ; Al-Fiqh, At-Tafsir,
Al-Hadits, At-Tawhid, Hafalan Al-Quran Al-Karim, An-Nahwu, As-Shorfu,
Al-Balaghoh (Al-Bayan, Al-Badi’, Al-Ma’any), Al-’Arudh wal Qofiyah (Ilmu Bentuk
Syair-syair Arab), Al-Muthola’ah wal Mahfuzhot, Al-Insya, Adab Al-Lughoh
(Sastra), Ar-Riyadhoh (Matematika, Aritmetika dan Al-Jabar), Keilmuan (Biologi,
Kimia, dan Sejarah Biologi), Al-Manthiq, At-Tarikh, Geografi, Al-Akhlaq,
At-Tarbiyah Al-Wathoniyah (Pendidikan Kenegaraan).
3. ‘Aali.
Lamanya empat tahun dan terbagi kepada empat fakultas ;
a. Fakultas
Bahasa Arab, yang diajarkan di dalamnya materi-materi : An-Nahwu, Al-Wadh’u,
As-Shorfu, Al-Mantiq, Ilmu-ilmu Balaghoh, Sastra Arab dan Sejarahnya, Sejarah
Arab Pra Islam, Sejarah Bangsa-bangsa Islam, At-Tafsir, Al-Hadits, Al-Ushul,
Al-Insya’, Fiqhu Al-Lughoh.
b. Fakultas
Syariah, yang diajarkan di dalamnya materi-materi : At-Tafsir, Matan Hadits,
Mustholah Al-Hadits dan Rijal Al-Hadits, Ushul Al-Fiqh, Tarikh Tasyri’
Al-Islamy, Al-Fiqhu dengan komparasi dalam permasalahan global (kulliyyah)
serta hikmah tasyri’ (penetapan syariah), Sastra Bahasa Arab, Ilmu-ilmu
Balaghoh, Al-Mantiq (Ilmu Logika).
c. Fakultas
Ushuluddin, yang diajarkan di dalamnya materi-materi : At-Tawhid dengan
menyebutkan argumen-argumen dan menangkal syubhat-syubhat terutama yang
tersebar pada masa itu, Ilmu Logika dan Berdebat (Al-Munazhoroh), Filsafat
dengan bantahan terhadap filsafat yang bertentangan dengan agama, Al-Akhlaq,
At-Tafsir, Al-Hadits, Sastra dan Sejarah Bahasa Arab, Sejarah Islam, Ilmu Jiwa,
Ilmu-ilmu Balaghoh.
4.
Spesialisasi. Terbagi menjadi dua : Spesialisasi Profesi dan Spesialisasi
Materi.
Tujuan dari spesialisasi profesi adalah untuk menyiapkan ulama-ulama yang
berprofesi sebagai pemberi nasehat dan petunjuk, atau dalam peradilan di
pengadilan syariah, memberi fatwa, dan advokasi, atau mengajar di
lembaga-lembaga pendidikan agama dan sekolah-sekolah pemerintah.
Adapun tujuan dari spesialisasi materi adalah mempersiapkan ulama-ulama
berkwalitas tinggi dalam ilmu-ilmu dasar di tiga fakultas tersebut. Orang yang
memegang ijazah di bagian ini akan ditetapkan untuk mengajar di
fakultas-fakultas dan bagian-bagian spesialisasi.
Ada juga bagian pengajaran lain yang tidak masuk sistem yang
diperbolehkan bagi para pelajar yang tidak memenuhi syarat penerimaan di
bagian-bagian yang resmi, juga bagi khalayak ramai yang ingin memperluas
wawasan di bidang Bahasa Arab dan Ilmu-Ilmu Agama,
Ijazah-Ijazah
Ijazah-ijazah
yang diberikan kepada mereka yang berhasil pada ujian akhir adalah sbb ;
1. Ijazah
Ibtidai. Diberikan kepada mereka yang menamatkan Bagian Ibtidai dan memberikan
hak kepada pemegangnya untuk bergabung dengan Bagian Tsanawy di Bagian Pertama.
2. IJazah
Tsanawy Bagian Pertama. Diberikan kepada mereka yang menamatan tahun pertama,
kedua dan ketiga di Tsanawy Bagian Pertama dan memberikan hak bagi pemegangnya
untuk bergabung ke Bagian Tsanawy di Bagian Kedua.
3. Ijazah
Tsanawy Bagian Kedua. Diberikan kepada mereka yang menamatkan tahun keempat dan
kelima dari Tsanawy Bagian Kedu yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk
bergabung di fakultas yang ada.
4. Ijazah
Al-’Aliyah. Diberikan kepada mereka yang menamatkan pelajaran di salah satu
fakultas yang ada. Bagi yang memegangnya bisa mendapatkan pekerjaan tata usaha
di Masjid Al-Azhar, lembaga-lembaga agama, Peradilan Agama, Majelis Hisbah dan
Wakaf, dan mengajar di masjid-masjid, menjadi khotib, imam masjid, serta
penghulu resmi.
5. Ijazah
Al-’Alamiyah. Diberikan kepada mereka yang menamatkan pelajaran spesialisasi
pada profesi pengajaran, atau pengadilan agama, atau memberi nasehat dan petunjuk.
Mereka yang mendapatkan ijazah ini pada spesialisasi pengajaran bisa mengajar
di lembaga-lembaga pendidikan agama atau sekolah-sekolah pemerintah. Bagi yang
mendapatkan ijazah ini pada spesialisasi peradilan bisa bekerja di peradilan
agama, lembaga fatwa, advokasi pada peradilan syariah, Majelis Hisbah.
6. Ijazah
Al-’Alamiyah dengan gelar Ustadz (Profesor). Diberikan kepada mereka yang
spesialis dalam salah satu materi. Bagi mereka yang memegangnya bisa mengajar
di fakultas-fakultas dan di bagian spesialisasi.
Al-Majlis
Al-A’laa li Al-Azhar (Dewan Tertinggi Al-Azhar)
UU No. 193 menetapkan adanya Badan Judikatif yang mempunyai hak untuk
meninjau aturan-aturan dan undang-undang yang diberlakukan untuk berjalannya
pengajaran dan manajemen di Al-Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan agama.
Badan ini disebut Al-Majlis Al-Azhar Al-A’laa, yang terdiri dari :
1. Syaikh
Jami’ Al-Azhar
2. Deputi
(Wakil) Al-Jami’ Al-Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ia berhak
memegang kepemimpinan majelis jika Syaikh Jami’ Al-Azhar berhalangan.
3. Mufti
Diyar Al-Mishriyyah
4.
Syaikh-syaikh tiga fakultas tersebut
5. Deputi
Departemen Al-Haqqoniyyah
6. Deputi
Departemen Waqaf
7. Deputi
Departemen Hubungan Sosial
8. Deputi
Departemen Keuangan
9. Dua orang
anggota Lembaga Tokoh Agama yang ditetapkan dengan mandat raja selama dua
tahun.
10. Dua
orang yang keberadaannya bermanfaat bagi kepentingan pengajaran di Al-Azhar dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam, yang ditetapkan dengan mandat raja selama dua
tahun.
